Banyak
peristiwa dalam kehidupan Rasulullah ﷺ, empat khalifah setelah beliau,
dan sejarah-sejarah umat Islam setelah mereka yang tidak hanya berhenti
pada kajian sejarah. Rekam jejak mereka mengajarkan nilai. Ada kajian
keilmuan yang begitu luas yang bisa dirumuskan. Terlebih dengan
berkembangnya metode penelitian modern.
Kehidupan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya bisa dikaji dalam ilmu psikologi, sosiologi, leadership,
politik dan hubungan internasional, bahkan kebijakan-kebijakan
strategis. Di antara pelajaran menarik dari kehidupan Nabi ﷺ adalah
bagaimana beliau ﷺ begitu lihai melihat potensi sahabatnya. Beliau ﷺ
sangat advance dalam memahami karakter
seseorang. Kemudian memberikan peranan yang tepat kepada mereka. Beliau
sosok pemimpin cerdas yang mampu memimpin para leader.
Kepemimpinan Bukan Masalah Senioritas
Rasulullah ﷺ mengajarkan umatnya, kepemimpinan
bukan masalah senioritas. Dan beliau ﷺ berhasil menransfer pemahaman ini
dengan sangat baik ke para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Sehingga mereka memiliki cara pandang (paradigma) yang sama dengan Rasulullah ﷺ.
Pertama: Kepemimpinan Khalid bin al-Walid di Perang Mu’tah.
Contoh yang menarik adalah kisah diangkatnya Khalid bin al-Walid radhiallahu ‘anhu
memimpin pasukan Perang Mu’tah. Peristiwa itu hanya berselang 4 bulan
setelah Khalid memeluk Islam. Ketika tiga orang panglima perang yang
ditunjuk Rasulullah ﷺ gugur: Ja’far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah,
dan Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhum, panji pasukan dipegang oleh Tsabit bin Aqram radhiallahu ‘anhu.
Tsabit adalah seorang sahabat senior. Ia turut serta dalam Perang
Badar. Rasulullah ﷺ bersabda tentang para sahabat yang turut serta dalam
pasukan Badar:
لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ، فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
“Mudah-mudahan Allah telah memperhatikan ahli Badr (para sahabat yang
ikut perang Badar) lalu berkata, ‘Lakukan semaumu, sesungguhnya Aku
telah mengampuni kamu’.” (HR. Bukhari, no. 3007).
Kata Tsabit bin Aqram al-Anshary, “Wahai kaum muslimin, tunjuklah salah seorang di antara kalian (untuk jadi pemimpin)!”
“Engkau,” kata para sahabat.
Tsabit menanggapi, “Aku bukanlah orangnya”. Maka para sahabat memilih Khalid bin al-Walid.” (Ibnu Hisyam, 2009: 533).
Kemudian Tsabit bin Aqram menemui Khalid bin al-Walid. Ia berkata, “Peganglah bendera ini wahai Abu Sulaiman (kun-yah Khalid).”
“Aku tidak akan mengambilnya. Engkaulah orang yang lebih pantas untuk
itu. Engkau seorang yang dituakan. Dan turut serta dalam Perang Badar,”
jawab Khalid. Artinya Khalid tahu keutamaan dan ketokohan (senioritas)
Tsabit. Ia menaruh respect padanya.
“Ambillah! Aku ambil bendera ini hanya untuk menyerahkannya padamu,”
perintah Tsabit tegas. Khalid pun mengambil bendera tersebut dan menjadi
panglima perang (Shalabi, 2007: 248).
Dari potongan kisah ini, kita melihat para
sahabat Rasulullah ﷺ memahami betul bahwa kepemimpinan bukan masalah
senioritas. Orang yang pantaslah yang layak memimpin. Para sahabat
hilangkan ego kesukuan yang menjadi ciri bangsa Arab sebelum datangnya
Islam. Dan inilah didikan Rasulullah ﷺ kepada mereka.
Kedua: Kepemimpinan Amr bin al-Ash dalam Perang Dzatus Salasil
Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu
ditunjuk Rasulullah ﷺ sebagai panglima pasukan Perang Dzatus Salasil, 5
bulan setelah ia memeluk Islam. Menariknya, dalam pasukan Dzatus Salasil
ini terdapat Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhuma.
Rasulullah ﷺ memanggil Amr bin al-Ash dan berkata kepadanya,
“Sesungguhnya aku ingin mengirimmu memimpin sebuah pasukan dan Allah
akan memenangkanmu dan memberimu harta rampasan perang. Aku berharap
dengan harapan yang baik agar engkau mendapatkan harta”.
Kemudian Amr menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak masuk Islam demi
harta. Aku masuk Islam karena kecintaan terhadap Islam dan agar aku bisa
bersama-sama Rasulullah ﷺ.”
Kemudian Rasulullah ﷺ memuji Amr, menyebutnya sebagai orang yang
baik, “Wahai Amr, sungguh alangkah indahnya jika harta yang baik berada
di tangan orang yang baik pula.” (HR. al-Bukhari dalam bab Adab, No.
299).
Suatu hari, Umar bin al-Khattab melihat Amr bin al-Ash sedang berjalan. Kemudian Umar mengatakan,
مَا يَنْبَغِي لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ أَنْ يَمْشِيَ عَلَى الأَرْضِ إِلا أَمِيرًا . .
“Tidak pantas bagi Abu Abdillah (Amr bin al-Ash) berjalan di muka bumi ini kecuali sebagai seorang pemimpin.” (Tarikh Dimasyq oleh Ibnu Asakir).
Di zaman kekhalifahan Umar bin al-Khattab, ia mengangkat Amr bin al-Ash sebagai gubernur Mesir.
Kepemimpinan Bukan Masalah Knowledge (pengetahuan)
Sebagian orang mengangkat orang lain menjadi
pemimpin karena gelar akademik tinggi yang disandangnya. Ada pula yang
mengangkat pemimpin karena pengetahuannya yang luas tentang agama. Tanpa
menimbang kapasitasnya dari sisi leadership. Yang dimaksud di
sini adalah kepemimpinan dalam sebuah grup, kelompok, organisasi, dan
sejenisnya. Bukan kepemimpinan agama seperti yang disebutkan Alquran:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka
meyakini ayat-ayat Kami.” (QS:As-Sajdah | Ayat: 24).
Rasulullah ﷺ membedakan antara Abu Dzar al-Ghifary dengan Amr bin
al-Ash dan Khalid bin al-Walid. Padahal dari sisi ke-ulamaan tentu Abu
Dzar jauh lebih unggul. Dari sisi ke-islaman, Abu Dzar lebih senior. Ia
adalah orang yang pertama-tama menerima dakwah Islam yang dibawa oleh
Rasulullah ﷺ. Artinya ia memeluk Islam kurang lebih 20 tahun sebelum
Khalid dan Amr. 20 tahun! Bukan waktu yang singkat.
Rasulullah ﷺ bersabda memuji Abu Dzar radhiallahu ‘anhu,
مَا أَقَلَّتْ الْغَبْرَاءُ وَلَا أَظَلَّتْ الْخَضْرَاءُ مِنْ رَجُلٍ أَصْدَقَ لَهْجَةً مِنْ أَبِي ذَرٍّ
“Bumi tak akan diinjak dan langit tak akan
menaungi seorang laki-laki yang lebih benar dialeknya daripada Abu
Dzar.” (HR. Ibnu Majah No.152).
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata tentang Abu Dzar,
أَبُو ذر وعاء مليء علما.
“Abu Dzar bagai sebuah wadah yang penuh dengan pengetahuan…” (Tarikh Dimasq oleh Ibnu Asakir).
Tapi Abu Dzar tidak pernah diberikan kepemimpinan oleh Rasulullah ﷺ.
Beliau hidup di masa Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar, dan wafat di masa
pemerintahan Utsman. Tidak pernah sama sekali jadi pemimpin.
Pernah sekali Abu Dzar menawarkan diri kepada Rasulullah ﷺ untuk
menjadi pemimpin. Bukan karena ia tamak kepemimpinan. Tapi ia ingin
lebih bermanfaat, menolong, dan berbagi untuk orang lain. Abu Dzar
mengatakan, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai
pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku
seraya bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا
وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu
adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan
penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan
apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR.
Muslim no. 1825).
Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيْفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا
أُحِبُّ لِنَفْسِي، لاَ تَأَمَّرَنَّ اثْنَينِ وَلاَ تَوَلَّيْنَ مَالَ
يَتِيْمٍ
“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah dan aku menyukai
untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau
memimpin dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan
harta anak yatim.” (HR. Muslim no. 1826).
Rasulullah ﷺ sangat mencintai Abu Dzar. Tapi beliau memberikan pesan
yang begitu jelas, jika ada dua orang, dia yang jadi pemimpin bukan
engkau wahai Abu Dzar.
Pelajaran:
Pertama: Rasulullah ﷺ berada di antara para pemimpin.
Kedua: Rasulullah ﷺ sangat pandai membaca potensi para sahabatnya.
Ketiga: Orang yang berilmu agama memiliki kedudukan
yang istimewa. Rasulullah tidak memberikan pujian kepada Khalid
sebagaimana beliau memuji Abu Dzar, “aku menyukai untukmu apa yang
kusukai untuk diriku”.
Keempat: Kepemimpinan itu berat dan amanah.
Kelima: Leadership adalah bagaimana
seseorang mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu mencapai
tujuan bersama. Terkadang hal ini tidak berhubungan dengan pengetahuan
dan tingkat pendidikan. Syaratnya dia seorang muslim kemudian modal
utamanya adalah integritas (jujur dan amanah).
Keenam: Ada orang-orang yang
terlahir sebagai pemimpin. Ada orang-orang yang bisa dilatih jadi
pemimpin. Dan ada orang-orang yang tidak bisa dilatih jadi pemimpin
walaupun memiliki mentor sekelas Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar.
Ketujuh: Banyak hal yang bisa digali dari perjalanan hidup Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Daftar Pustaka:
– Ahmad, Mahdi Rizqullah. 2012. Terj: Sirah Nabawiyah. Jakarta: Perisai Qur’an.
– Hisyam, Ibnu. 2009. Sirah Nabawiyah. Beirut: Dar Ibnu Hazm.
– ash-Shalaby, 2007. Ghazawatu ar-Rasul. Kairo: Muas-sasah Iqra.
– islamweb.net
Artikel www.KisahMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar