Banyak
orang mengkhawatirkan, kejayaan Islam atau berpegangnnya suatu negara
dengan syariat Islam akan membuat kaum muslimah terkurung dan kehilangan
hak-hak mereka. Buktinya, sejarah tidak mecatat demikian. Lihatlah
wanita-wanita Andalusia berikut ini:
Kesebelas: Isyraq al-Suwayda al-Arudiyyah.
Isyraq adalah pelayan sekaligus murid dari Abu
al-Mutharrif’ Abdurrahman bin Ghalbun al-Qurtubi al-Katib. Dia besar di
Valencia dan belajar bahasa Arab, nahwu, dan sastra dari Abu al-Muṭarrif
selama saat tinggal di Cordoba. Ketika sang guru pergi dari Cordoba,
Isyraq pun ikut pindah dari kota itu. walaupun ia banyak belajar cabang
keilmuan kepada al-Mutharrif, namun ia mampu mengungguli gurunya dalam
keilmuan.
Isyraq memiliki wawasan luas dan pandai
menggubah puisi. Puisi Arab berbeda dengan puisi Indonesia. Seseorang
mampu membuat puisi Arab, maka ilmu Bahasa Arab dan gramatikanya berada
di level yang tinggi. Apalagi sampai dikatakan orang tersebut mahir
dalam puisi. Tentu ini tingkatan keilmuan yang luar biasa.
Abu Dawud Sulaiman bin Najah, seorang qari
Alquran, mengatakan, “Aku belajar puisi di bawah bimbingannya. Di
hadapannya, kubacakan karya Abu Ali Nawadir dan Abu al-Abbas al-Mubarrad
al-Kamil. Ia sepenuhnya hafal kedua karya itu. Dan sering memberikan
komentar yang rumit pada keduanya.”
Isyraq meninggal di Valencia pada 443 H/1051 M
sebagaimana tercatat dalam buku yang ditulis oleh Ibnu Ayyad yang
mengupas tentang wanita-wanita yang ahli dalam membaca Alquran.
Kedua belas: Zaynab binti Abi Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Bar al-Nymayri.
Zaynab tumbuh-besar di wilayah Timur Andalusia. Guru pertamanya
adalah ayahnya sendiri. Ia terkenal sebagai wanita yang bijak. Ia juga
merupakan ibu dari Ibnu Abdil Bar.
Ketiga belas: Fatimah binti Abi Ali al-Husein bin Muhammad as-Sadafi.
Fatimah adalah ulama wanita yang berasal dari
Zaragoza. Ia tumbuh-besar di Murcia. Ia berpisah dengan ayahnya sedari
kecil. Karena sang ayah bergabung dengan militer ci Cutanda. Fatimah
seorang ahli ibadah, penghafal Alquran dan hadits, dan mengisi
kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ.
Kemampuan Fatimah dalam menulis Arab, luar biasa. Wanita Eropa ini
juga sangat gemar membaca. Ia menikah dengan Abu Muhammad Abdullah bin
Musa bin Burtulah, seorang ulama Kota Murcia. Mereka dikaruinia beberapa
orang anak. Di antaranya adalah Abu Bakar Abdurrahman.
Fatimah meninggal di atas tahun 590 H/ 1194 dengan usia lebih dari 80 tahun.
Keempat belas: Fatimah binti Abil Qashim Abdurrahman bin Muhammad bin Ghalib al-Anshari al-Sharrat.
Fatimah binti Abil Qashim berasal dari Cordoba.
Kun-yahnya adalah Ummul Fath. Dia menghafal Alquran dengan riwayat
Nafi’ dari ayahnya sendiri. Di bawah bimbingan ayahnya ia mempelajari
sejumlah besar buku. Di antranya Tanbih al-Makki, al-Shihab al-Quda’I,
Mukhtashar at-Tulaytali. Selain itu, Fatimah juga mempelajari Shahih
Muslim, Sirah Ibnu Hisyam, al-Kamil al-Mubarrad, Nawadir al-Baghdadi.
Dan buku-buku lainnya. Semuanya di bawah bimbingan sang ayah.
Wanita yang hebat ini, juga seorang ibu yang luar biasa, anaknya, Abu
al-Qasim bin al-Ṭaylasan meriwayatkan hadits dan Alquran riwayat warsy
darinya.
Fatimah wafat pada tahun 613 H/1216 M. Ia dimakamkan di pemakaman Ummu Salamah bersama ayah dan saudara-saudaranya.
Kelima belas: Sayyidah binti Abdul Ghani bin Ali bin Utsman al-Abdari.
Kun-yahnya adalah Ummul Ala’. Sayyidah berasal dari Granada, tapi
ayahnya –sepupu dari Abul Hajjaj bin Yusuf bin Ibrahim bin Utsman
al-Thagri- tinggal di Murcia.
Ayahnya menjabat hakim di Orihuela. Kemudian sang ayah meninggal saat
ia masih kecil, jadilah Sayyidah seorang anak yatim. Di Murcia, ia
banyak belajar Alquran dan menjadi ahli dalam bidang tersebut. Kemampuan
menulisnya luar biasa. Ia pun diangkat menjadi seorang pengajar di
komplek kerajaan dan istana sampai sekitar tiga tahun menjelang wafat.
Karena sakit keras yang ia derita mencegahnya untuk beraktivitas. Di
masa-masa itu, ia tetap menyibukkan diri dengan dunia mengajar. Hanya
saja, muridnya hanya dua orang putrinya.
Selain sibuk dengan Alquran, buku-buku karya ulama, dan ibadah-ibadah
individual, Sayyidah juga menjadi motivator umat dalam kegiatan sosial.
Ia berusaha sekuat mungkin menyisihkan kekayaannya untuk membebaskan
budak.
Sayyidah wafat karena penyakit yang ia derita pada Selasa sore,
tanggal 5 Muharram 647 H/20 April 1249. Ia dimakamkan pada hari Rabu
esok harinya. Di dekat masjid, di pinggiran Tunisia.
Keenam belas: Layla
Layla, mantan budak yang dibebaskan mentri Abu Bakr bin al-Khattab.
Layla berasal dari Murcia. Hakim Abu Bakar bin Abi Jamra memujinya
sebagai perempuan terbesar di eranya, dalam pengetahuan dan pemahaman
tentang berbagai ilmu.
Banyak laki-laki yang datang meminangnya, tapi ia menolak mereka. Dan
kemudian memilih Hakim Agung Granada, Abu al-Qasim bin Hisyam bin Abi
Jamra. Seorang ulama yang shaleh dan berpengetahuan luas dan berasal
dari keluarga yang mulia.
Layla wafat pada tahun 528 H/1133 M.
Ketujuh belas: Hafshah
Hafsha adalah anak dari seorang ulama, Abu Imran Musa bin Hammad
al-Sanhaji. Al-Malahi berkata tentang Hafshah, “Ia menikah dengan hakim
Abu Bakr Muhammad bin Ali al-Ghassani al-Marshani. Ia adalah wanita yang
mulia. Seorang penghafal Alquran dan cukup mumpuni dalam seni
kaligrafi.
Hafshah juga seorang ahli dalam hokum dan akidah. Ia banyak mengutip fatwa ayahnya dalam berbagai kesempatan.
Lahir pada tahun 519 H/1125 M. Dan wafat di Granada. Ia dimakamkan di Pemakaman Bab Elvira
Kedelapan belas: Hafshah binti Abi Abdullah Muhammad bin Ahmad as-Salami.
Hafshah binti Abi Abdullah adalah guru dalam 7 bacaan Alquran (Qiroah
Sab’ah). Ia mempelajari qirorah sab’ah dari ayahnya. Dari ayahnya ia
juga menghafal banyak buku hadits dan karya-karya para ulama dari
berbagai macam disiplin ilmu. Selain itu, ia juga mempelajari kitab
al-Muwattha.
Al-Mahalli mengatakan, “Saya mendapatkan informasi bahwa ia membaca
kitab al-Muwattha di hadapan kakek dari jalur ayah (paman ayahnya), Abu
Bakr Yahya bin Arus at-Tamimi”. Ia adalah wanita yang fasih lisannya dan
sangat pandai membaca. Ia dapat membaca manuskrip-manuskrip yang
tulisannya sulit dibaca.
Ia wafat di usia muda, 27 tahun. pada 15 Ramadhan 580 H/20 Desember 1184 M.
Kesembilan belas: Aisyah
Asiyah adalah anak perempuan dari al-Qadhi Abu al-Khattab Muhammad
bin Ahmad bin Khalil. Ia meriwayatkan hadits dari ayahnya. Selain itu,
ia juga mendapatka ijazah pengakuan keilmuan dari beberapa ulama. Ia
dikenal sebagai wanita yang bijak yang memiliki pengetahuan yang detil
tentang nasab keluarganya.
Aisyah dikenal sebagai wanita yang teliti, ahli, dan perhatian. Namun ia hanya memiliki sedikit murid.
Kedua puluh: Dhunah binti Abdul Aziz bin Musa bin Thahir bin Muta’.
Dhunah dikenal juga dengan kun-yahnya, Ummu Habibah. Ia adalah istri
dari Abul Qasim bin Mudir. Ia belajar di bawah bimbingan Abu Umar bin
Abdul Barr dan berhasil menstraskrip beberapa karya gurunya ini. Gurunya
yang lain adalah Abul Abbas al-‘Udhri.
Sisi menarik dari Dhunah adalah suaminya belajar darinya. Wanita yang
terkenal dengan kerendahan-hati dan keshalehannya ini mampu menulis
dengan indah.
Ia lahir ada tahun 437 H/1045 M dan wafat pada tahun 506 H/1112 M.
Penutup
Demikianlah beberapa figur wanita istimewa di
zaman kejayaan Islam di Andalusia. Tentu keistimewaan mereka menjawab
keraguan atau tuduhan miring yang diarahkan kepada umat Islam. Tuduhan
tanpa bukti yang menyatakan bahwa syariat Islam merendahkan dan
menghalangi kemajuan wanita.
Hal menarik lainnya yang kita dapat petik
pelajaran dari profil-profil mereka adalah mereka memiliki ayah atau
suami yang berilmu. Tidak hanya berilmu, ayah dan suami mereka memiliki
perhatian yang besar dalam mendidik keluarganya. Kemudian kesibukan
mereka sebagai ibu rumah tangga tidak menghalangi mereka dari menuntut
ilmu.
0 komentar:
Posting Komentar