Setelah
berulang kali mengalami mimpi menjadi nyata, Muhammad ﷺ mulai
menyendiri di Gua Hira. Hingga beberapa waktu berlalu tibalah bulan
Ramadhan. Beliau ﷺ menemui sesuatu yang mengubah kehidupannya. Beliau
berjumpa dengan Jibril.
Jibril di Gua
Jibril masuk ke Gua Hira lalu memerintahkan
Muhammad ﷺ untuk membaca. Hingga turunlah surat al-Alaq 1-5. Beliau
melihat mimpinya menjadi nyata.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa Jibril mendekap Nabi Muhammad ﷺ
dan membuat beliau kepayahan? Mengapa beliau merasakan ketakutan?
Di antara faidahnya adalah Nabi ﷺ begitu sadar
bahwa keanehan yang beliau alami adalah sesuatu yang hakiki. Beliau
merasakan sakit yang bisa dirasakan inderanya. Sehingga tak ada rasa
ragu atau menerka itu adalah khayalan atau menduga-duga. Kemudian hal
ini juga menjadi pelajaran kepada beliau bahwa tahapan-tahapan wahyu
berikutnya akan turun dalam keadaan berat seperti ini. sebagaimana
firman Allah ﷻ,
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS:Al-Muzzammil | Ayat: 5).
Kata berat dalam ayat ini bukan hanya mengandung pengertian secara
maknawi. Atau hanya berarti makna yang mendalam dan penuh hikmah. Berat
tersebut adalah dalam arti sebenarnya. Yang dirasakan oleh panca indera.
Hal ini dipertegas lagi oleh pengalaman sahabat Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu. Ia mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ sedang mendapat wahyu:
لاَيَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ المُؤْمِنِينَ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang)
dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah…” (QS:An-Nisaa | Ayat:
95).
Kemudian datang Ibnu Ummi Maktum yang
menyebutkan ayat itu padaku. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, seandainya
aku bisa berjihad, pasti aku akan berjihad’. Ia adalah seorang laki-laki
buta. Kemudian Allah Tabaraka wa Ta’ala menambahkan ayat kepada
Rasul-Nya ﷺ. Saat itu paha beliau berada di atas pahaku. Aku merasa
begitu keberatan. Sampai-sampai aku khawatir pahaku remuk. Setelah itu
dilanjutkan kepada beliau, Allah menurunkan:
غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ
“yang tidak mempunyai uzur” (QS:An-Nisaa | Ayat: 95). (HR.
al-Bukhary, Kitab al-Jihad wa as-Siyar, 2677, at-Turmudzi 3033, dan
an-Nasa-I 4308).
Hadits ini menjelaskan kepada kita perkataan berat yang dimaksud
dalam surat al-Muzammil mencakup berat dalam arti hakiki. Bukan hanya
secara maknawi. Sebagaimana yang dirasakan oleh Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu. Demikian juga Aisyah radhiallahu ‘anha meriwayatkan,
إِنْ كَانَ لَيُوحَى إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ، فَتَضْرِبُ بِجِرَانِهَا
“Apabila Rasulullah ﷺ menerima wahyu saat berada di atas
tunggangannya (ontanya), maka bagian perut onta itu akan menempel ke
tanah.” (HR. Ahmad 24912).
Artinya onta itu tak sanggup menahan beban Rasulullah ﷺ yang sedang
menerima wahyu. Sehingga ia terduduk sampai perutnya menempel ke tanah.
Dahsyat dan beratnya peristiwa menerima wahyu ini berbeda-beda. Wahyu
yang satu bisa lebih berat dari wahyu lainnya. Al-Harits bin Hisyam radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara wahyu datang kepadamu?” Rasulullah ﷺ menjawab,
أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ،
وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا
قَالَ، وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلاً فَيُكَلِّمُنِي
فَأَعِي مَا يَقُولُ
“Terkadang wahyu itu datang kepadaku seperti suara lonceng. Inilah
yang terberat bagiku. Dia memberitakan sesuatu dan aku memahami apa yang
ia ucapkan. Dan terkadang malaikat datang dalam wujud seorang
laki-laki, lalu dia berbicara padaku dan aku paham apa yang
diucapkannya.” (HR. al-Bukhari 3043 dan Muslim 2333).
Jadi, tingkat kesulitan penerimaan wahyu itu berbeda-beda. Dan yang
paling berat adalah seperti gemerincing lonceng. Aisyah radhiallahu
‘anha paham betul tentang beratnya wahyu itu. ia menuturkan bagaimana
keadaan Nabi ﷺ saat turun wahyu di musim dingin.
وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي
الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ
لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا
“Sungguh aku melihat wahyu turun kepada beliau di hari yang sangat
dingin namun beliau tidak merasa kedinginan. Bahkan dari dahi beliau
mengeluarkan keringat.” (HR. al-Bukhari 2, at-Turmudzi 3634, an-Nasai-
1006, dan Ahmad 26241).
Di ruang ber-AC dengan suhu 200c saja, kita sudah tidak berkeringat. Sedangkan dinginnya Kota Madinah bisa mencapai 100c
bahkan lebih rendah lagi. Dalam kodisi seperti itu, Rasulullah ﷺ
berkeringat. Terbayang, betapa berat keadaan yang dialami Nabi ﷺ saat
menerima wahyu.
Mengapa Dalam Keadaan Berat?
Membaca hadits-hadits Nabi ﷺ, kita bisa
menangkap hikmah mengapa wahyu turun dalam keadaan yang begitu berat.
Dan Allah ﷻ lebih mengetahui hikmahnya. Nabi ﷺ mendapat ujian dari
segala sisi: keluarga yang wafat meninggalkannya, hartanya, negeri
asalnya, sahabat-sahabatnya, sampai rasa sakit yang berliau derita.
إِنِّي أُوعَكُ كَمَا يُوعَكُ رَجُلاَنِ مِنْكُمْ
“Sungguh aku sakit sebagimana rasa sakit dua orang kalian (dua kali lipat).” (HR. al-Bukhari 5324 dan Muslim 2571).
Dan juga sabda beliau ﷺ,
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ
“Orang yang paling besar musibahnya adalah para nabi, kemudian yang
(keshalehannya) mirip (dengan mereka), kemudian yang mirip dengan
mereka.” (HR. an-Nasa-i 7482 dll.)
Rasulullah ﷺ adalah sebaik-baik manusia, rasul yang paling utama.
Beliau mendapatkan cobaan hingga saat menerima wahyu. Dengan rasa berat
tersebut Rasulullah ﷺ bersabar. Beliau lebih melihat hikmah wahyu
tersebut yang merupakan petunjuk yang bermanfaat bagi umatnya.
Sampai-sampai beliau rindu dengan perjumpaan Jibril dan mendengar kalam
Ilahi itu. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bertanya kepada Jibril:
مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَزُورَنَا أَكْثَرَ مِمَّا
تَزُورُنَا فَنَزَلَتْ { وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ لَهُ
مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا }
“Mengapa engkau tidak sering lagi mengunjungiku
sebagaimana biasanya?” Lalu turunlah ayat: Dan tidaklah kami (Jibril)
turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. kepunyaan-Nyalah segala yang ada
di hadapan kita, dan segala yang ada di belakang kita. (Maryam: 64).”
(HR. al-Bukhari 4454 dan selainnya).
Penutup
Dengan mengetahui bagaimana keadaan Rasulullah
saat menerima wahyu, mudah-mudahan kita semakin mengagungkan Alquran.
Dan terbayang setiap kita membaca ayat Alquran bagaimana Rasulullah
berjuang keras dan bersabar menahan beratnya menerima wahyu Ilahi untuk
disampaikan kepada kita, untuk kita baca dan tadabburi.
0 komentar:
Posting Komentar