Abdurrahman al-Ghafiqi, Gubernur Andalusia
Tabi’in
– Sesudah khalifah Umar bin Abdil Aziz membersihkan tangannya usai
menghadiri pemakaman putra pamannya yakni khalifah Sulaiman bin Abdul
Malik, beliau mengadakan pergantian para gubernur dan pejabat secara
besar-besaran. Di antara pejabat baru yang dilantik adalah as-Samah bin
Malik al-Khaulani yang bertanggung jawab atas seluruh Andalusia
(sekarang Spanyol dan Portugal ed.) dan beberapa kota yang telah
ditaklukkannya di Prancis.
Gubernur baru ini segera menempati tempat dinasnya di Spanyol. Kemudian
mengamati situasi dan mencari sahabat-sahabat baik yang bisa
membantunya. Yang pertama kali beliau tanyakan adalah, “Masih adakah
generasi tabi’in senior di sini?” Orang-orang menjawab, “Masih, di sini
masih ada seorang tabi’in utama bernama Abdurrahman al-Ghafiqi.” Lalu
mereka memuji ilmu dan keahlian tabi’in tersebut tentang hadis-hadis
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perannya dalam jihad, kerinduannya
akan syahadah fi sabillah dan zuhud terhadap kesenangan dunia. Beliau
juga berguru kepada sahabat utama, Abdullah bin Umar bin Khaththab yang
ilmu dan perilakunya sangat mirip dengan ayahnya.
Gubernur as-Samah bin Malik segera mengundang Abdurrahman al-Ghafiqi.
Kedatangan tokoh tabi’in tersebut disambut dengan penuh hormat,
kemudian keduanya duduk berdampingan itu akhirnya menyerah setelah
selama empat pekan bertahan dalam pertempuran dahsyat yang belum pernah
disaksikan oleh Eropa.
Target berikutnya adalah Toulouse, ibukota Octania. Tanpa
membuang-buang waktu, pasukan Islam segera memasang semacam
ranjau-ranjau di berbagai tempat, kemudian memulai serangan dengan
senjata-senjata yang tidak dikenal di Eropa. Nyaris saja kota ini
menyerah, hanya saja terjadilah peristiwa yang tidak terduga sebelumnya.
Mari kita ikuti bagaimana seorang orientalis Prancis bernama Rhino
menggambarkan perang besar tersebut:
Kejayaan di pihak pasukan Islam sudah di ambang pintu. Ketika itu,
raja Octania bertolak ke Eropa untuk mencari bala bantuan. Dia menyebar
utusan-utusan ke seluruh negeri. Dia memprovokasi raja-raja Eropa dengan
cara memperingatkan akan bahaya ekspansi Islam yang akan merambat ke
wilayah mereka juga. Sehingga kaum wanita dan anak-anak mereka sebagai
tawanan. Hasilnya, tak satu negeri pun melainkan mengirimkan pasukan
khususnya lengkap dengan persenjataan yang menjadi andalan mereka.
Jumlah pasukan begitu besar, gemuruh suara para tentara dan
lengkapnya senjata perang belum pernah dilihat dunia sebelum itu. Hingga
debu-debu terbang menutupi kota Rhone dari sinar matahari, lantaran
banyaknya kaki yang menginjaknya.
Tatkala dua kubu telah berhadap-hadapan, terbayang oleh orang-orang
seakan gunung tengah berhadapan dengan gunung. Perang sengit tak
terelakkan lagi. as-Samah bin Malik selalu di garis depan. Dia dijuluki
Dzaama, bergerak dengan tangkas ke sayap kanan dan sayap kiri tanpa
mengenal lelah. Pada saat itulah anak panah meluncur mengenai dirinya.
Maka robohlah panglima tertinggi yang perkasa itu dan syahid.
Begitu mengetahui panglimanya gugur, goncanglah pasukan Islam.
Jatuhlah mental juang mereka, lalu barisan pun mulai kocar-kacir. Mereka
bergerak mundur dan hampir dapat dipastikan bahwa pasukan Eropa
berhasil menghancurkan mereka kalau saja pada saat yang kritis itu tidak
tampil sosok yan cerdas dan tangguh yang selama ini telah disegani
Eropa, yaitu Abdurrahman al-Ghafiqi.
Di bawah komando panglima baru ini, pasukan Islam bergerak mundur
tanpa mengalami banyak kerugian. Mereka bergerak ke Spanyol dengan tekad
kelak akan menebus kekalahannya.
Demikianlah, perang besar Toulouse telah melahirkan panglima baru
yang tangkas dan berhasil menyelamatkan pasukan Islam dari timbulnya
banyak korban. Jika pasukan itu ibarat kafilah yang hampir mati kehausan
di tengah sahara, maka Abdurrahman al-Ghafiqi adalah orang yang
menyuguhkan minum kepada mereka. Beliau menjadi tumpuan para prajurit
muslimin untuk memulihkan kekuatan dan membimbing mereka menjauhi
banyaknya korban yang berjatuhan.
Tak berlebihan kiranya jika pertempuran Toulouse menorehkan luka
pertama yang teramat pedih pada diri pasukan Islam sejak menginjakkan
kakinya di benua Eropa. Kehadiran Abdurrahman al-Ghafiqi menjadi penawar
luka tersebut dan dengan tangannya yang penuh kasih dia merawat mereka
sepenuh perhatian.
Kabar kekalahan pasukan Islam tersebut akhirnya sampai ke telinga
khalifah di Damaskus dan menumbuhkan tekad yang membara untuk membalas
gugurnya as-Samah bin Malik al-Khaulani. Beliau memerintahkan agar
seluruh prajurit melakukan bai’at kepada Abdurrahman al-Ghafiqi. Kini
beliau diangkat sebagai pemimpin seluruh Spanyol dan daerah-daerah
Prancis yang sudah berhasil dikuasai. Dengan jabatan tersebut beliau
mendapatkan otonomi untuk mengatur strategi yang dikehendakinya.
Keputusan itu bukanlah tindakan konyol, karena Abdurrahman al-Ghafiqi
memang seorang yang tangkas, tegas, jujur, bersih, bijaksana lagi
pemberani.
Pemimpin baru Abdurrahman al-Ghafiqi tidak membuang-buang waktu.
Beliau segera membenahi kembali pasukan Islam, menempa tekad para
prajurit, mengembalikan kepercayaan diri, kehormatan, dan kekuatan
mereka. Semua ditujukan untuk melanjutkan obsesi tokoh-tokoh muslimin
Spanyol sejak Zaman Musa bin Nushair hingga as-Samah bin Malik, yaitu
menguasa Prancis, Italia, Jerman hingga Konstantinopel, serta menjadikan
laut putih tengah sebagai lautan Islam dan mengganti nama laut Romawi
menjadi laut Syam.
Hal yang diyakini Abdurrahman al-Ghafiqi memeriksa dan menanggapi
seluruh pengaduan tersebut. Ditindaknya orang-orang yang berlaku aniaya
dan dikembalikannya hak-hak orang yang lemah. Beliau meneliti
gereja-geraja yang dirampas dan mengembalikannya kepada yang berhak,
menghancurkan bangunan-bangunan baru yang didirikan dari hasil suap.
Kemudian memeriksa para pejabatnya satu demi satu dan memecat para
pejabat yang terbtukti berkhianat atau menyeleweng. Lalu menggantinya
dengan orang-orang yang dapat dipercaya kemampuan dan akhlaknya. Setiap
kali memasuki suatu daerah, beliau menyeru kaumnya untuk shalat jamaah,
kemudian berkhutbah untuk memompa semangat jihad dan membangkitkan
kerinduan mereka akan syahadah dan mardhatillah.
Abdurrahman al-Ghafiqi tidak hanya pintar berbicara. Sejak memegang
kendali kekuasaan beliau juga sibuk mempersiapkan berbagai sarana dan
prasarana penting. Senjata-senjata diproduksi, latihan-latihan
diselenggarakan, benteng-benteng yang rusak dibenahi dan
jembatan-jembatan dibangun. Satu di antara jembatan bersejarah yang bisa
disaksikan hingga kini adalah yang dibangun di Cordova, ibukota
Spanyol. Jembatan itu melintasi sungai besar yang bisa dimanfaatkan
untuk lalu lintas dan menjaga negeri itu dari bahaya banjir. Jembatan
itu merupakan salah satu keajaiban dunia. Panjangnya mencapai 800 ba
(satu ba’ sepanjang dua kali tangan), tinggi 60 ba’, lebar 20 ba’ dengan
18 pintu air dan 19 pilar, hingga kini menjadi kebanggaan bangsa
Spanyaol.
Setiap kali Abdurrahman mengunjungi masing-masing wilayah, tak lupa
beliau mengadakan pertemuan dengan para pimpinan angkatan bersenjata dan
tokoh-tokoh masyarakat. Beliau memperhatikan dan mencatat pandangan dan
usul-usul mereka. Beliau lebih banyak mendengarkan tanggapan dalam
pertemuan-pertemuan itu daripada berbicara. Pertemuan serupa juga
digelar untuk para pemuka zhimmi yang terikat perjanjian dengan
muslimin. Tak jarang dia bertanya sampai mendetail hal ihwal negeri dan
pimpinan mereka.
Abdurrahman al-Ghafiqi pernah mengundang seorang zhimmi keturunan
Prancis yang terikat perjanjian. Di antara isi perbincangan tersebut
adalah sebagai berikut. Abdurrahman bertanya, “Mengapa raja kalian,
Syarl tidak turun untuk membantu raja-raja lainnya yang berperang dengan
kami?” Zhimmi itu menjawab, “Wahai gubernur, Anda telah menepati
janji-janji kepada kami. Anda berhak kami percayai dan kami akan
menjawab dengan jujur segala yang Anda tanyakan. Sesungguhnya panglima
besar Anda, Musa bin Nushair telah berhasil menguasai seluruh Spanyol.
Kemudian dia ingin melintasi pegunungan Pyrenees yang memisahkan Spanyol
dengan negeri kami yang indah. Maka raja-raja kecil dan para rahib itu
menghadap raja kami dan berkata: “Kehinaan apa yang akan menimpa kita,
wahai maha raja? Kami mendengar tentang kaum muslimin dan mengira mereka
akan datang dari arah Timur, namun ternyata mereka muncul dari arah
Barat dan langsung menguasai Spanyol. Padahal negeri ini memiliki
persenjataan dan pertahanan yang kuat. Kini mereka mulai merayap di
gunung-gunung yang membatasi Spanyol dengan negeri kita. Sebenarnya
jumlah mereka kecil, persenjataan sedikit dan kebanyakan tidak memiliki
pakaian perang yang bisa melindungi tubuh dari sabetan pedang atau
kuda-kuda gagah untuk ditunggangi di medan tempur.”
Kemudian maha raja berkata, “Masalah ini sudah saya pikirkan secara
mendalam dan saya mengira untuk saat ini kita tidak perlu menghadapi
mereka secara langsung. Mereka orang-orang bermental baja, bagaikan
gelombang besar yang menyapu semua penghalang dan mencampakkannya kemana
dia suka. Selain itu, mereka adalah kaum yang memiliki akidah yang
kokoh sehingga tak menghiraukan jumlah dan senjata. Mereka punya iman
dan kejujuran yang jauh lebih berharga dibandingkan senjata, pakaian
perang atau kuda. Oleh karena itu, lebih baik kita membiarkan mereka,
kaum muslimin terus menumpuk harta dan ghanimah, lalu membangun rumah
dan gedung-gedung serta melipatgandakan jumlah budak laki-laki dan
perempuan dan lihatlah, mereka pasti akan berebut kekuasaan. Pada saat
itu kita bisa menaklukkan mereka dengan mudah tanpa banyak
pengorbanan..”
Tersentaklah Abdurrahman al-Ghafiqi, sedih rasanya mendengar berita
itu. Dia menghela nafas dalam-dalam kemudian membubarkan majelis seiring
dengan masuknya waktu shalat.
Dua tahun penuh Abdurrahman al-Ghafiqi mempersiapkan diri untuk
menyongsong perang besar itu. Beliau membentuk kesatuan-kesatuan
prajurit dan tak henti-hentinya membakar gelora jihad mereka. Di samping
itu, beliau juga meminta bantuan kepada para pemimpin Islam di Afrika
untuk mengirim prajurit-prajurit mereka yang memiliki nyali jihad dan
rindu syahid.
Setelah itu, beliau mengutus Utsman bin Abi Nus’ah amir penajga
perbatasan untuk menyibukkan musuh dengan serangan-serangan sporadis
sambil menunggu pasukan inti yang dipimpin oleh Abdurrahman al-Ghafiqi
tiba di medan perang.
Akan tetapi, ternyata pilihan Abdurrahman al-Ghafiqi keliru. Utsman
bin Abi Nus’ah adalah orang yang ambisius tetapi berwatak lemah. Jarak
yang jauh dari pemimpinnya membuka peluang baginya untuk melakukan
langkah-langkah yang bisa mengangkat namanya tanpa mempedulikan
persoalan lainnya. Dia bahkan menculik putri Duke Octania bernama Minin,
seorang putri yang amat jelita. Dalam dirinya terkumpul kecantikan,
kebangsawanan, usia belia, dan kekayaan sebagai penghuni istana. Tak
hean bila Utsman bin Abi Nus’ah akhirnya tergila-gila padanya dan
memberikan perhatian berlebih dibanding kepada seorang istri. Putri itu
mengusulkan agar Utsman bin Abi Nus’ah mengadakan perjanjian damai
dengan Duke Octania disertai jaminan bahwa ayah Minin itu aman dari
serangan prajurit Islam.
Begitulah, tatkala tiba perintah Abdurrahman al-Ghafiqi untuk
menyerbu wilayah kekuasaan Duke Octania, rasa bimbang menyelimuti hati
Ibnu Abi Nus’ah. Dia tak tahu harus berbua apa, tapi kemudian dia
membujuk agar Abdurrahman al-Ghafiqi membatalkan perintahnya. Dia
benar-benar tak sanggup mengkhianati janjinya terhadap ayah mertuanya
sebelum habis masanya.
Bukan main berangnya Abdurrahman al-Ghafiqi begitu mengetahui duduk
perkaranya. Melalui utusan, beliau berpesan kepada Utsman bin Abi
Nus’ah. “Perjanjian yang Anda lakukan tanpa seizin pemimpin adalah tidak
sah, maka tak ada keharusan bagi prajurit Islam untuk mematuhinya.
Sekarang laksanakan perintahku segera, seranglah musuh sekarang juga!”
Ibnu Abi Nus’ah merasa putus asa karena gagal melunakkan sikap
gubernurnya. Dia bersegera mengirim utusan kepada ayah metuanya untuk
memberitahukan apa yang terjadi dan memperingatkan agar waspada terhadap
pasukan kaum muslimin.
Namun sayang, mata-mata Abdurrahman al-Ghafiqi yang selalu mengawasi
gerak-geriknya mengetahui hal itu dan melaporkan hubungan Utsman bin Abi
Nus’ah dengan musuh kepada Abdurrahman al-Ghafiqi. Segera setelah itu,
al-Ghafiqi mengirimkan pasukan khususnya yang tangguh di bawah komando
Mujahid untuk membawa Utsman bin Abi Nus’ah, hidup atau mati.
Serangan dilakukan secara mendadak. Operasi itu nyaris berhasil,
namun Utsman bin Abi Nus’ah berhasil meloloskan diri dari kepungan. Dia
lari ke gunung disertai beberapa orang, demikian pula dengan Minin,
istri cantiknya yang tak bisa lagi dipisahkan darinya.
Hal itu tidak membuat prajurit Islam patah arang. Mereka terus
mengejar dan akhirnya berhasil menyudutkan pengkhianat itu di suatu
tempat. Akhirnya, Utsman bin Abi Nus’ah mempertahankan diri
habis-habisan. Dia tewas karena banyaknya tusukan tombak dan sabetan
pedang yang melukai tubuhnya. Mayatnya segera dikirim kepada Abdurrahman
al-Ghafiqi bersama istrinya.
Begitu melihat Minin, Abdurrahman al-Ghafiqi segera memalingkan
wajahnya. Wanita itu memang cantik luar biasa. Selanjutnya dia dikirim
ke Damaskus untuk diserahkan kepada khalifah. Maka tamatlah riwayat
wanita Prancis itu di istana Umawiyah di Damaskus.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
0 komentar:
Posting Komentar