Al-Masur bin Mukhramah, keponakan Abu Jahal, anak dari saudari perempuannya, bertanya kepada Abu Jahal tentang pribadi Muhammad bin Abdullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Wahai pamanku, apakah kalian menuduh Muhammad itu berdusta sebelum ia mengatakan apa yang dia katakan sekarang ini -yakni risalah kenabian-?”
“Wahai anak saudariku, demi Allah! Sungguh sewaktu Muhammad masih seorang pemuda, ia digelari al-amin (yang terpercaya) di tengah-tengah kami. Kami sama sekali tak pernah mencoba menyebutnya berdusta.”, kata Abu Jahal.
Keponakannya kembali bertanya, “Wahai paman, mengapa kalian tidak mengikutinya?”
Abu Jahal menjawab, “Keponakanku, kami dan bani Hasyim selalu bersaing dalam masalah kemuliaan. Jika mereka memberi makanan, kami juga memberi makanan. Jika mereka menjamu dengan minuman, kami juga demikian. Jika mereka memberi perlindungan, kami juga melakukannya. Sampai-sampai kami sama-sama duduk di atas hewan tunggangan untuk berperang, kami (dan bani Hasyim) sama dalam kemuliaan. Kemudian mereka mengatakan, “’Di kalangan kami ada seorang Nabi (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)’. Kapan kabilahku bisa menyamai kemuliaan ini?”
Inilah alasan Abu Jahal menolak beriman. Bukan karena Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berdusta. Tapi yang menghalanginya adalah kesombongan. Jika dia beriman, berarti kabilahnya kalah dalam kemuliaan. Kabilahnya kalah gengsi dengan bani Hasyim. Dan di zaman sekarang, alasan ini pula yang menjadi latar belakang seseorang menolak kebenaran.
Di hari Perang Badar, al-Akhnas bin Syuraiq bertanya kepada Abu Jahal, “Abul Hakam (sebutan Abu Jahal di tengah kafir Quraisy), beritahu aku tentang Muhammad. Apakah ia orang yang jujur atau pendusta? Karena di sini tak ada seorang Quraisy pun selain aku dan engkau yang mendengar pembicaraan kita.”
Abu Jahal menjawab, “Celaka engkau! Demi Allah, sungguh Muhammad itu seorang yang jujur. Dia sama sekali tak pernah berbohong. Tapi, kalau anak-anak Qushay dengan al-liwa’ (mengatur urusan perang), hijabah (memegang kunci Ka’bah dan pengaturannya), siqayah (memberi jamaah haji minum), dan juga nubuwwah (kenabian), Quraisy yang lain kebagian apa?” (Ibnul Qayyim, Hidayatul Hayara, Hal: 50-51).
Kisah ini dinukil dari kitab Wa Syahida Syahidun min Ahliha oleh Raghib as-Sirjani.
Read more http://kisahmuslim.com/5821-kata-abu-jahal-tentang-pribadi-nabi-muhammad.html
Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Anshar. Namanya adalah Khalid bin Zaid bin Kulaib bin Malik bin an-Najjar. Ia dikenal dengan nama dan kun-yahnya. Ibunya adalah Hindun binti Said bin Amr dari Bani al-Harits bin al-Khazraj. Ia adalah generasi awal memeluk Islam dari kalangan sahabat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari Kiamat kelak, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bertemu dengan ayahnya, Azar, sementara wajah Azar hitam kelam dan berdebu. Lantas Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
berkata kepadanya, ‘Bukankah saya pernah melarangmu agar tidak durhaka
kepadaku?’ Ayahnya menjawab, ‘Hari ini aku tidak akan durhaka kepadamu.’
Lalu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata, ‘Ya Rabbi! Sungguh,
Engkau telah berjanji kepadaku agar Engkau tidak menghinakan aku pada
hari mereka dibangkitkan. Lalu kehinaan apalagi yang lebih hina daripada
keadaan ayahku yang dijauhkan dari rahmat-Mu?’ Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengharamkan surga bagi orang-orang kafir.’ Selanjutnya ditanyakan kepada kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,
‘Wahai Ibrahim! Apa yang ada di bawah kedua kakimu?’ Beliau pun melihat
di bawahnya, ternyata di situ terdapat sesosok anjing hutan yang
berlumur kotoran terlihat sedang tertunduk, lalu kaki-kakinya diikat dan
dilemparkan ke dalam neraka.”
(HR. Al-Bukhari)
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
Para nabi dan rasul adalah wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala
di muka bumi ini. Mereka adalah orang-orang yang Allah cintai, mereka
mengemban risalah langit untuk mendakwahi manusia agar menyembah Allah
semata dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Walaupun Allah
mencintai mereka, tidak mesti Allah Subhanahu wa Ta’ala
merealisasikan apa yang mereka harapkan. Mereka masih dianjurkan untuk
mengucapkan insya Allah (atas kehendak Allah) ketika mencita-citakan
sesuatu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala pernah menegur Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantaran ada seorang yang bertanya kepada beliau tentang suatu perkara,
lalu beliau besok saya jawab –dengan keyakinan wahyu dari Allah akan
turun-. Ternyata wahyu mengenai jawaban terkait tidak kunjung turun dan
ketika wahyu datang malah berupa teguran kepada beliau agar mengucapkan
insya Allah. Demikian juga kejadian yang dialami Nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sulaiman bin Daud ‘alaihissalam
pernah berkata, ‘Sungguh, saya akan menggilir seratus istri saya pada
malam ini. Semuanya akan melahirkan anak yang ahli berkuda yang akan
berjuang di jalan Allah.’ Lalu temannya berkata kepadanya, ‘Katakanlah
‘Insya Allah’,’ tetapi Nabi Sulaiman tidak mengatakan ‘insya Allah’.
Ternyata dari semua istrinya tersebut yang hamil hanya seorang
istrinya, itupun hanya melahirkan separuh anak. Demi Dzat yang menguasai
jiwaku, seandainya Nabi Sulaiman mengucapkan ‘Insya Allah’, pastilah
mereka semua akan berjuang di jalan Allah sebagai pasukan berkuda.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain yang terdapat di dalam kitab ash-Shahihain juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
berkata, ‘Sungguh, saya akan menggilir tujuh puluh istri saya pada
malam ini. Masing-masin akan melahirkan seorang pasukan berkuda yang
berjuang di jalan Allah.’ Akan tetapi beliau tidak mengucapkan ‘Insya
Allah’. Lantas beliau pun menggilir mereka. Ternyata yang hamil hanyalah
seorang istri yang melahirkan separuh anak, lantas anak tersebut dibawa
ke atas kursi Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, lalu diletakkan di pangkuannya. Demi Dzat yang menguasai jiwaku, seandainya Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
mengucapkan ‘Insya Allah’, pastilah mereka semua akan berjuang di jalan
Allah sebagai pasukan berkuda.” Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan sungguh, Kami telah menguji Sulaiman.” (QS. Shad: 34)
Para nabi dan rasul yang merupakan wali-wali
Allah pun masih diajarkan beradab kepada Allah untuk mengatakan insya
Allah ketika mencita-citakan sesuatu, apalagi kita yang manusia biasa.
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Diantara nabi yang namanya sering disebut dalam Alquran adalah Nabi Musa ‘alaihis sahalatu was salam. Beliau nabi yang perjalanan sejarahnya paling sering dikisahkan dalam Alquran setelah nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian ulama menghitung, nama beliau disebutkan sebanyak 136 kali
dalam Alquran. Nabi terbaik di kalangan bani Israil, termasuk ulul azmi,
dan bergelar kalimullah (orang yang diajak bicara langsung oleh Allah). (Fabi Hudahum, Dr. Utsman al-Khamis, hlm. 326).
Beliau adalah Musa bin Imran, dan masih keturunan Nabi Ya’kub ‘alaihis sahalatu was salam. Allah tegaskan dalam Alquran bahwa beliau termasuk orang yang sangat banyak mendapatkan ujian kehidupan,
وَفَتَنَّاكَ فُتُونًا
“Dan Kami telah memberikan cobaan kepadammu dengan berbagai macam cobaan.” (QS. Taha: 40).
Dan inilah yang menjadi rahasia mengapa sejarah
beliau paling sering disebutkan dalam Alquran, agar kita bisa mengambil
pelajaran dari perjuangan beliau dan usaha beliau dalam mendakwahkan
kebenaran kepada seluruh umatnya. Dr. Utsman al-Khamis mengatakan,
تكرر اسمه كثيرا في كتاب الله تعالى مما يدل على أن الله يريد منا أن نتدير أحواله، وما لاقى من المشاق، والتعب والأذى والفتنة
Nama beliau disebut berulang-ulang dalam kitab
Allah (Alquran) yang menunjukkan bahwa Allah menginginkan agar kita
selalu merenungkan keadaan beliau, kesulitan yang beliau jumpai, rasa
capek beliau, setiap gangguan dan ujian yang beliau hadapi. (Fabi
Hudahum, Dr. Utsman al-Khamis, hlm. 327).
Doa Nabi Musa ‘alaihis salam
Kita kembali pada tema pembahasan tentang doa
Nabi Musa. Dalam Alquran, Allah menyebutkan beberapa doa yang
dipanjatkan Musa. Doa-doa itu beliau panjatkan dalam setiap kesempatan
yang berbeda. Namun ada satu doa yang sangat menakjubkan, doa yang
mengobati sekian banyak kegelisahan yang dialami oleh Musa,
“Ya Tuhanku Sesungguhnya aku sangat membutuhkan setiap kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. Al-Qashas: 24).
Anda bisa perhatikan surat al-Qashas, Allah
menceritakan Musa dari ayat 3 hingga ayat 43. Doa ini diucapkan Musa
ketika beliau berada di kondisi serba susah. Diliputi rasa cemas dan
ketakutan. Bagi orang awam, keadaan itu mungkin sudah dianggap puncak
ujian, seolah tidak ada lagi harapan untuk hidup.
1. Firaun menjajah habis bani Israil
2. Membantai setiap bayi lelaki, dan membiarkan hidup bayi perempuan
3. Firaun membuat lemah setiap sendi kehidupan
bani Israil, seolah tidak ada harapan untuk bisa bangkit memperjuangkan
kemerdekaannya.
4. Allah perintahkan ibunya Musa untuk melabuhkan anaknya ke sungai.
5. Musa diasuh oleh keluarga Firaun. Musa kecil tumbuh di tengah-tengah calon musuhnya.
6. Setelah besar, Musa melarikan diri dari
kerajaan Firaun. Musa membunuh pengikut Firaun ketika berusaha membantu
lelaki bani Israil yang rebutan air dengan korban.
7. Musa menjadi ketakutan di kota Mesir, karena
telah membunuh pengikut Firaun. Bahkan datang seorang informan, bahwa
para pemimpin pasukan Firaun telah bersepakat untuk membunuh Musa.
8. Musa keluar mesir dengan penuh ketakutan, beliau berjalan ke arah Madyan.
9. Di tengah perjalanan beliau menjumpai dua wanita yang mengantri
untuk mengambil air untuk ternaknya, namun mereka tidak mampu
melakukannya. Kemudian dibantu Musa.
Di saat itulah, Musa merasa sangat membutuhkan
pertolongan dan bantuan. Tapi tiada lagi tempat mengadu, tidak ada
keluarga, tidak ada pekerjaan, tidak mungkin kembali ke Mesir dalam
waktu dekat. Di saat itulah, Musa merasa sangat butuh pertolongan
Tuhannya. Di bawah teduh pepohonan, beliau berdoa,
Musa memberi minum ternak itu untuk menolong kedua wanita itu,
kemudian dia duduk di tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku
Sesungguhnya aku sangat membutuhkan setiap kebaikan yang Engkau turunkan
kepadaku “. (QS. Al-Qashas: 24).
Gayung pun bersambut, seusai doa Allah hilangkan keresahan Musa,
setahap demi setahap. Datanglah salah satu diantara wanita yang ditolong
Musa, menawarkan kepada Musa agar mampir ke rumahnya. Menemui ayah sang
gadis.
1. Allah berikan jaminan keamanan kepada Musa, dengan Allah kumpulkan beliau bersama orang soleh (ayah si gadis).
2. Si ayah menikahkan Musa dengan salah satu putrinya.
3. Musa mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal yang aman di kota Madyan.
4. Musa mendapatkan tongkat yang akan menjadi mukjizatnya.
5. Musa diajak oleh Allah untuk menuju lembah penuh berkah, lembah Tuwa.
6. Di lembah ini, Allah berbicara langsung dengan Musa menjadikannya sebagai Nabi.
7. Musa mendapatkan banyak Mukjizat untuk melawan Firaun.
8. Allah mengangkat saudara Musa, Harun, sebagai Nabi, yang akan membantu Musa dalam berdakwah.
9. Allah memenangkan Musa dan Firaun ditenggelamkan di laut merah.
Anda bisa perhatikan, kemenangan dan keberhasilan bertubi-tubi Allah
berikan kepada Musa. Yang semua itu dimulai setelah dia berdoa dengan
penuh rasa harap, merasa fakir di hadapan Allah, memohon agar Allah
menurunkan banyak kebaikan untuknya.
Seperti itulah diantara adab dalam berdoa.
Berdoa dan memohon kepada Allah, di saat Anda merasa sangat membutuhkan
pertolongan Allah, menjadikan doa mustajab. Karena Anda merasa sangat
dekat dengan Allah. Sehingga doa yang dilantunkan menjadi sangat
berkualitas.
Berbeda dengan doa yang sifatnya rutinitas.
Membaca teks Arab, namun tidak diiringi kehadiran hati. Hanya sebatas di
lisan, tanpa ada perasaan butuh kepada Allah. Kondisi ini menjadikan
doa kita tidak mustajab. Sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Berdoalah kepada Allah dengan penuh keyakinan
akan dikabulkan. Ketahulilah bahwa Allah tidak akan memperkenankan doa
dari seorang hamba yang hatinya lalai.” (HR. Turmudzi 3479, Hakim dalam
al-Mustadrak 1817 dan dihasankan oleh al-Albani).
Keistimewaan Para Nabi Yang Tidak Dimiliki Manusia Biasa
Para nabi dan rasul adalah manusia-manusia terbaik pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala
untuk mengemban risalahnya. Mereka Allah pilih sebagai penyambung
antara Allah dan para hamba-Nya di muka bumi ini. Para nabi dan rasul
ini juga memiliki keistimewaan tertentu dan diantaranya tidak dimiliki
oleh manusia biasa.
Yang perlu kita ingat adalah, setiap Allah memuliakan para nabi dan
rasul, berarti beban syariat mereka lebih banyak atau lebih besar dari
manusia biasa. Demikianlah adanya, ketika kemuliaan bertambah maka beban
syariat semakin besar. Sebagai contoh, seorang laki-laki secara
jenisnya lebih utama disbanding wanita, maka beban syariat untuk
laki-laki lebih besar disbanding wanita. Allah berfirman,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.” (QS. An Nisa: 34)
Dalam ayat ini laki-laki memiliki beban syariat berupa kewajiban
member nafkah bagi istrinya, sedangkan perempuan tidak dibebankan
demikian. Laki-laki juga diwajibkan shalat 5 waktu secara berjamaah di
masjid, sedangkan wanita tidak, berjihad, dll.
Demikian juga para nabi dan rasul, rasul lebih mulia daripada nabi,
dan diantara para rasul ada ulul azmi yang lebih mulia dari rasul-rasul
lainnya, maka semakin mulia, semakin bertambah beban syariat.
Diantara keistimewaan nabi dan rasul adalah:
Para nabi dan rasul memiliki fisik yang lebih
baik dari manusia biasa. Sebagaimana Nabi Musa yang kuat, Nabi Yusuf
memiliki setengah ketampanan, dan secara umum tidak ada nabi dan rasul
yang cacat.
Allah anugerahkan mereka akhlak yang mulia.
Para nabi dan rasul terjaga dari akhlak yang rendah, agar orang-orang
tidak mencela mereka ketika mereka berdakwah dan menyeru kepada kebaikan
saat diperintahkan berdakwah.
Memiliki nasab atau silsilah keturunan yang baik atau dari anak-anak keluarga yang dipandang di masyarakatnya.
Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang
cerdas. Sebagaiman kisah Nabi Ibrahim yang berdialog dengan ayahnya
dengan cara yang santun, berdialog dengan kaumnya dan Raja Namrud dengan
argumentasi yang tidak terbantahkan. Demikian juga nabi dan rasul
lainnya.
Kesabaran mereka tidak tertandingi. Nabi Nuh berdakwah selama 950
tahun hanya dengan segelintir pengikut, yang tidak lebih dari 10 orang.
Para nabi menerima wahyu.
Terjaga dari dosa, apalagi sampai berbuat syirik. Oleh karena itu,
tidak bernah apa yang dikatakan oleh orang-orang filsafat bahwasanya
Nabi Ibrahim sempat mengalami fase pencarian Tuhan.
Saat tidur, hati mereka tetap terjaga. Berbeda dengan kita manusia
biasa seperti kita, ketika tidur maka hati kita pun tertidur; tidak
berdzikir dan mengingat Allah atau aktivitas hati lainnya.
Ketika nyawa mereka hendak dicabut, maka Allah berikan pilihan; agar
tetap kekal di dunia atau berjumpa dengan Allah. Sebagaimana Nabi
Muhammad yang memilih “ila rofiqul a’la”.
Jasad para Nabi tidak hancur di kubur-kubur mereka.
Ketika wafat, harta mereka tidak diwariskan
akan tetapi menjadi sedekah. Oleh karena itu Abu Bakar tidak mengabulkan
Fathimah radhiallahu ‘anha tentang peninggalan Nabi Muhammad. Hal ini
yang sering dijadikan orang Syiah untuk mencela Abu Bakar.
Dimakamkan di tempat mereka wafat. Sebagaiman
Nabi Muhammad yang wafat di kamar ummul mukminin Aisyah radhiallahu
‘anha, maka beliau di kubur di kamar sang istri tercinta.
Para nabi dan rasul khusus dari kalangan laki-laki, tidak dari wanita.
Para nabi dan rasul adalah orang-orang merdeka, tidak seorang pun di antara mereka adalah budak.
Para nabi didoakan, oleh karena itu sering
disertai nama-nama Nabi dengan shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
‘alaihissalam karena shalawat adalah diantara kekhususan para nabi.
Doa para nabi, doa yang mustajab.
Para nabi dan rasul memiliki telaga di akhirat
kelak untuk umat-umat mereka. Walaupun hadis tentang ini
diperselisihkan oleh para ulama, apakah selain Nabi Muhammad juga
memiliki telaga. Adapun tentang telaga Nabi Muhammad para ulama sepakat
tentang keshahihannya.
Para nabi dan rasul adalah orang yang tinggal di perkotaan, bukan dari kalangan badui atau desa.
Para nabi tidak mengalami mimpi “basah”, karena mimpi yang demikian adalah mimpi yang berasal dari setan.
Mimpi para nabi dan rasul adalah sesuatu yang
akan menjadi kenyataan. Ketika para nabi dan rasul melihat sesuatu dalam
mimpi mereka, maka hal itu akan terjadi. Sebagaimana mimpi Nabi Yusuf
di kala kecil, melihat matahari, bulan, dan bintang bersujud kepadanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menempatkan Adam dan anak keturunannya dalam kedudukan yang
mulia, lebih mulia dari para makhluk-Nya yang lain. Salah satu bukti
yang menunjukkan hal tersebut adalah setelah Allah menciptakan Adam,
Allah perintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam ‘alaihi shalatu wa salam.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah
kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS.
Al-Baqarah: 34)
Peristiwa sujudnya para malaikat kepada Adam
terkadang menimbulkan polemik di sebagian umat Islam atau memang isu ini
sengaja dilemparkan ke tengah-tengah umat Islam untuk menebar kerancuan
dengan mempertanyakan “Mengapa Allah meridhai makhluk-Nya sujud kepada
selain-Nya? Bukankah ini sama saja melegitimasi kesyirikan? Dan Iblis
adalah hamba Allah yang benar-benar mentauhidkannya karena menolak untuk
sujud kepada Adam”. Kurang lebih demikian kalimat rancu yang sering
dibesar-besarkan oleh sebagian kalangan.
Yang perlu kita ketahui adalah para ulama membagi sujud ke dalam dua bagian; pertama, sujud ibadah dan yang kedua sujud (tahiyah) penghormatan.
Sujud ibadah hanya boleh dipersembahkan kepada
Allah semata tidak boleh kepada selain-Nya. Allah tidak pernah
memerintahkan satu pun dari makhluk-Nya untuk bersujud kepada selain-Nya
dalam rangka untuk beribadah kepada makhluk tersebut. Para malaikat
Allah perintahkan sujud kepada Adam bukan dalam rangka sujud ibadah
tetapi sujud penghormatan.
Sujud penghormatan merupakan bagian dari syariat umat-umat terdahulu,
kemudian amalan ini diharamkan dengan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara contoh sujud penghormatan adalah sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam ‘alaihissalam.
Demikian juga mimpi Nabi Yusuf yang ia ceritakan kepada Ayahnya Nabi
Ya’qub lalu mimpi itu menjadi kenyataan. Di dalam surat Yusuf
dikisahkan,
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku,
sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan;
kulihat semuanya sujud kepadaku.” (QS. Yusuf: 4)
Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka
(semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf,
“Wahai ayahku inilah ta´bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya
Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan…” (QS. Yusuf: 100)
Inilah di antara contoh-contoh sujud penghormatan yang merupakan bagian dari syariat umat terdahulu.
Pengalaman serupa juga pernah terjadi kepada Muadz bin Jabal tatkala
melihat ahlul kitab di Syam. Tatkala pulang dari Syam, Muadz sujud di
hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Apa-apaan ini, wahai Mu’adz?” Muadz menjawab, “Aku baru datang dari
Syam. Yang kulakukan ini serupa dengan mereka, (orang-orang di sana)
mereja sujud untuk uskup dan pendeta-pendeta mereka. Aku pun
berkeinginan melakukannya kepadamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Jangan kau lakukan. Seandainya aku memerintahkan seseorang
untuk bersujud, maka akan kuperintahkan istri untuk bersujud kepada
suaminya.” (HR Ibnu Majah, No. 1853).
Apa yang dilakukan penduduk Syam adalah contoh
dari syariat terdahulu yang masih mereka amalkan, mereka sujud kepada
pemuka-pemuka agama dan tokoh-tokoh mereka sebagai penghormatan untuk
para pembesar tersebut, bukan untuk menyembah mereka.
Di antara contoh lainnya juga, ada seekor hewan melata yang sujud kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kemudian beliau melarangnya karena sujud kepada makhluk, baik itu sujud
penghormatan terlebih lagi sujud untuk ibadah, haram hukumnya dalam
syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam timbangan
syariat Muhammad (baca: syariat Islam) sujud penghormatan sama saja
dengan sujud ibadah, haram hukumnya apabila dipersembahkan kepada selain
Allah.
Pelajaran lainnya yang dapat kita petik dari peristiwa sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam ‘alaihissalam adalah, iblis termasuk dari bangsa jin bukan dari golongan malaikat sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang.
Malaikat diciptakan dari cahaya, sedangkan bangsa jin termasuk iblis, Allah ciptakan dari api. Allah berfirman,
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah
kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari
golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya…” (QS. Al-Kahfi: 50)
Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu
untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab,
“Saya lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al-A’raf: 12)
Dengan demikian iblis bukanlah dari golongan
malaikat, saat itu ia hanya bersama dengan para malaikat Allah yang
taat. Ada yang menyatakan, dahulu iblis adalah bangsa jin yang taat
kepada Allah. Inilah alasannya ia dimuliakan dengan dikumpulkan bersama
para malaikat walaupun ia bukan malaikat. Namun akhirnya sifat
sombongnya terlihat di hadapan para malaikat, tatkala Allah mengujinya
dengan memerintahkan untuk sujud kepada Adam.
Sebagian orang ada yang menuduh Rasulullah Nuh ‘alaihissalam
bukanlah seorang Rasul yang sabar menghadapi kaumnya, padahal Allah
sendiri menggelarinya ulul azmi di antara para rasul. Alasan orang-orang
yang menuduh Nabi Nuh tidak sabar karena Nabi Nuh memintakan adzab
kepada Allah untuk kaumnya.
Mari pahami alur kisahnya, mengapa Nabi Nuh
mengucapkan demikian, sehingga kita tidak berburuk sangka kepada utusan
Allah yang mulia.
Kaum Nuh adalah kaum yang ingkar kepada Allah
dan Rasul-Nya. Tidak hanya melakukan kekufuran, mereka juga senantiasa
menantang Nabi Nuh untuk mendatangkan adzab sebagai bukti kebenaran
dakwahnya itu. Mereka mengatakan,
“Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah
dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka
datangkanlah kepada kami adzab yang kamu ancamkan kepada kami, jika
kamu termasuk orang-orang yang benar.” (QS. Hud: 32)
Namun Nabi Nuh tetap bersabar dan tidak
membalas perkataan mereka dengan meng-iya-kannya atau meanggapinya
dengan ancaman, beliau hanya mengatakan bahwa keputusan adzab bukanlah
kehendaknya, melainkan hanya kehendak Allah semata.
Nuh menjawab, “Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu
kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali tidak dapat
melepaskan diri”. (QS. Hud: 33)
Nabi Nuh yang telah berdakwah selama 950 tahun, tidak hanya di siang
hari namun juga di malam hari beliau tidak berhenti menyeru kaumnya.
Selama masa yang panjang itu pula beliau bersabar atas gangguan fisik
maupun psikis yang ia terima.
Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang
dan malam, namun seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari
kebenaran). (QS. Nuh: 6-7)
Tidak hanya menolak seruan Nabi Nuh, mereka pun mengejeknya dengan menutupi telinga-telinga mereka.
“Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar
Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam
telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap
(mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.” (QS. Nuh: 8)
Allah Ta’ala pun menanggapi kaum Nuh yang sangat melampaui batas ini dengan berfirman, mengabarkan kepada Rasulullah Nuh ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam bahwa tidak ada lagi kaumnya yang akan beriman kepadanya.
“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya
sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang
telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang
apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Hud: 36)
Artinya, tidak akan ada lagi yang akan beriman kepada seruanmu setelah 9 orang yang telah mengikutimu.
Mendengar firman Allah ini, Nuh sadar Allah akan segera menurunkan adzab-Nya kepada kaumnya.
“(Jika demikian) Rabb-ku, maka jangan engkau sisakan seorang pun
orang kafir di atas bumi ini. Jika Engkau membiarkan mereka, pastilah
mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu (yang lain), dan mereka pun akan
melahirkan keturunan yang senantiasa berbuat dosa dan kekufuran.” (QS.
Nuh: 26-27)
Demikianlah syariat terdahulu, ketika sebuah kaum melakukan dosa dan
melampaui batas, maka Allah akan menurunkan adzab-Nya langsung di dunia
dengan membinasakan mereka. Lihatlah kaum ‘Add umat Nabi Hud, ketika
mereka ingkar dan terus-menerus menyomobongkan diri, Allah binasakan
mereka dengan angin topan. Umat Nabi Luth, Allah buat mereka binasa
dengan menghujani batu api dari langit kemudian membalikkan bumi yang
mereka pijak. Bangsa Madyan, umat Nabi Syuaib Allah hancurkan mereka
dengan suara guntur yang menggelgar sehingga mereka tewas seketika
seolah-olah tidak pernah ada orang yang tinggal di daerah itu
sebelumnya. Firaun, Qarun, dll. Allah segerakan adzab mereka di dunia
dan nanti adzab yang lebih besar di akhirat.
Berbeda dengan umat Nabi Muhammad yang Allah
utamakan atas umat lainnya, Allah tunda adzab-Nya di akhirat kelak, dan
memperpanjang masa bagi umat Muhammad agar berpikir dan bertaubat. Semua
itu Allah lakukan dengan hikmah dan ilmu-Nya, dan hendaknya kita
bersyukur atas hal ini.
Dan akhirnya adzab yang mereka nanti-nantikan
itu datang, langit menurunkan air yang sangat deras dan bumi pun
mengeluarkan air yang melimpah. Bumi pun menjadi lautan yang sangat
besar, yang ombaknya saja setinggi gunung.
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung.” (QS. Hud: 42)
Demikianlah Allah menetapkan takdir untuk kaum Nabi Nuh.
Selama ini, peristiwa hijrah sangant identik dengan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
saja. Padahal, ketika kita membaca Alquran, tentu kita dapati bahwa
para nabi dan rasul selain Nabi Muhammad pun mengalami babak baru dalam
dakwah mereka dalam bentuk hijrah. Namun mungkin kita kurang menyadari
bahwa itulah hijrah mereka, fase baru dakwahnya para utusan Allah.
Meskipun banyak nabi dan rasul yang mengalami hijrah, hijrah mereka berbeda dengan hijrahnya Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara rasulullah yang mengalami peristiwa hijrah adalah:
Pertama: Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mengenai hijrahnya Nabi Ibrahim, terdapat dua
pendapat, kota mana yang menjadi tujuan Nabi Ibrahim setelah pergi dari
negerinya Irak. (1) Ada yang mengatakan bahwa beliau hijrah ke Mekah dan
(2) yang lainnya mengatakan bahwa beliau berpindah ke Syam, ke tanah
Jerusalem, Palestina. Dan tidak diragukan lagi, Nabi Ibrahim memang
memasuki kedua kota tersebut. Namun kota mana yang terlebih dahulu
dikunjungi? Allahu a’lam.
Setidaknya ada tiga ayat yang menerangkan tentang hijrahnya Nabi Ibrahim ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam.
“Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. Dan berkatalah Ibrahim:
“Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku
(kepadaku); sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al-Ankabut: 26).
Ayat lainnya,
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ
Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada
Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (QS. Ash-Shaffat: 99).
“Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari
apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku,
mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku”. (QS.
Maryam: 48).
Beliau menjauhkan diri dari peribadatan yang mereka lakukan dan juga menjauhkan diri dari tempat tersebut.
Kedua: Rasulullah Musa shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Peristiwa hijrahnya Nabi Musa berbeda dengan
hijrahnya Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Ketika hijrah, Nabi Musa belum
diangkat sebagai rasul. Adapun Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad telah
diangkat sebagai rasul saat keduanya berhijrah.
Peristiwa hijrahnya Nabi Musa terjadi pada saat beliau membunuh seorang laki-laki Qibthi.
“Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas
seraya berkata: ‘Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding
tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini)
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu’.”
(QS. Al-Qashash: 20).
Nabi Musa pun pergi menuju Madyan. Selama
tinggal 10 tahun di Madyan, Nabi Musa menikahi seorang wanita putri dari
laki-laki sepuh di wilayah tersebut.
Perbedaan lainnya antara hijrah Nabi Muhammad
dan Nabi Musa adalah latar belakang hijrah. Jika hijrahnya Nabi Muhammad
adalah karena orang-orang Mekah telah menutup rapat diri mereka dari
hidayah Islam, sementara di Madinah eksistensi dakwah secara meluas dan
tegaknya negeri Islam sangat mungkin digapai. Adapun Nabi Musa untuk
menghindari kebengisan Firaun.
“Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku
takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia
menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul.” (QS. AS-Syuara: 21).
Dan masih banyak nabi dan rasul lainnya yang
mengalami hijrah, seperti Nabi Ya’qub dan Nabi Yusuf, dll.
Kesimpulannya, hijrah para nabi berbeda dengan hijrahnya Nabi Muhammad.
Hijrah beliau memiliki kedudukan yang begitu mulia dan juga sangat berat
dalam praktiknya. Hijrah beliau tidak dilator-belakangi lari dari siksa
atau adzab kaumnya.